Hari itu kulihat Nisa duduk di
pinggir halaman sekolah. Di siang yang tidak terlalu terik itu kulihat betapa
cantiknya dia. Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, mata kami bertemu, ia pun
tersenyum kepadaku. Sejak hari itu senyumannya selalu melekat di kepalaku. Hari
demi hari kulalui dengan riang gembira karena panah cinta telah menancap di hatiku.
Kelasku dan Nisa memang berbeda, namun selalu kuusahakan untuk melihatnya, aku
pun sampai hafal kemana saja ia pergi saat istirahat.
Sekolahku berada di desa,
dikelilingi padang rumput yang luas. Setiap hari aku pulang dengan jalan kaki,
sendirian tanpa seseorang di sisiku. Suatu ketika, kulihat seorang wanita
berpakaian putih abu-abu dengan jilbab di kepalanya. Tak salah lagi, itu Nisa.
Segera ku hampiri dia di jalan menuju rumahku itu.
“ Assalamualaikum,
Nis ”, sapaku.
“ Waalaikumsalam.
Eh Faried, kamu mau pulang? ”, tanya Nisa.
“ Iya,
pertigaan itu aku belok kiri, kalau kamu? ”, tanyaku.
“ Kalau
aku belok kanan. Aku duluan ya, Wassalamualaikum. ”, kata Nisa.
“
Waalaikumsalam ”, jawabku sambil tersenyum.
Hari-hari
kujalani dengan hati yang berbunga-bunga. Setiap hari aku pulang bersamanya.
Suatu hari air hujan membasahi kami saat pulang. Langit memang sudah gelap
sebelum kami pulang. Baru beberapa langkah kami keluar dari sekolah, setetes
air hujan mengenai tanganku. Hujan pun mulai membasahi tubuh kami.
“Wah,
Hujan! ayo cari tempat berteduh!”, seruku.
“Iya,
itu ada gubuk tua, ayo kita ke sana!”, jawab Nisa.
Di antara hujan yang deras, kami berlari
ke sebuah gubuk tua yang terbuat dari bambu dan berada di bawah pohon itu.
Dengan baju yang sudah basah kuyup, kami berteduh di gubuk tua itu. Kulihat ia
kedinginan, ia mencoba menghangatkan tubuhnya dengan meniupkan nafasnya ke
tangannya. Segera ku ambil jaket yang ada di tasku dan memakaikannya ke
badannya.
“Pakailah”, kataku.
“Oh, terima kasih”, jawabnya
tersipu. Kami saling tersenyum.
Sudah
beberapa hari ini Nisa tidak pulang bersamaku. Aku selalu menunggunya di
gerbang sekolah, namun ia tak pernah kulihat keluar dari gerbang itu beberapa
hari ini. Terpaksa aku pulang dengan kakiku ini. Sore itu sengaja ku ambil rute
jalan yang berbeda untuk pulang. Melewat sawah, padang rumput yang luas, dan
sungai. Terhenti langkahku di sebuah padang rumput yang luas. Kulihat sebuah
gubuk tua tempat aku dan Nisa berteduh saat hujan dulu. Bibirku sedikit
tersenyum mengingat kejadian di gubuk itu. Ingin diriku duduk sebentar di gubuk
itu. Baru beberapa langkah aku mendekat, langkahku terhenti lagi. Ku lihat
seorang wanita berjilbab dan seorang pria yang sudah tidak asing bagiku. Ya
Allah! Itu Nisa, dan lelaki yang duduk di sampingnya adalah Dika, sahabatku
sendiri. Diriku lemas dan langsung terjatuh di rerumputan. Terjatuh dengan
sejuta rasa sakit menghujam hatiku. Terjatuh di padang rumput yang luas.
Dika,
dia sahabat yang sering membuatku tertawa dengan tingkah konyolnya. Kami sering
ke kantin bersama, mengerjakan tugas bersama, bahkan dihukum bersama. Tak ku
sangka, ia pun mencintai Nisa. Memang saat di kantin kami sering membicarakan
tentang Nisa. Sering kali ketika Nisa lewat di hadapan kami, Dika menggodaku
dengan memanggil Nisa menggunakan namaku.
Hari-hari
kulalui dengan kepala tertunduk. Terasa sesuatu mengganjal di dadaku. Akhir-akhir
ini aku sering melamun. Ku ambil buku pelajaran untuk mengalihkan pikiranku
dari rasa sakit hatiku ini. Percuma, aku hanya bisa termenung di meja belajar.
Tak satupun kalimat yang ada di buku masuk ke kepalaku. Setetes air mata jatuh,
jatuh mengenai buku yang ada di hadapanku. Nggak, aku nggak boleh menangis. Ku
usap air mataku dan segera mengambil air wudhu. Ku buka lembaran ayat suci dan
mulai membacanya. Sebuah ayat membuatku tergugah.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri yang mengubah nasib atau keadaan yang ada pada dirinya.”, QS.
Ar-Rad ayat 11
Dalam hati kutanamkan, aku harus
bangkit, aku nggak boleh seperti ini terus. Sejak saat itu, aku mulai melupakan
kepedihan yang aku rasakan karena Nisa. Tapi, ada masih ada sesuatu yang kurang
di hatiku.
Sore
itu, tanganku masih sibuk menulis di kertas ulangan. “Kriiiingg!!” Bel sekolah
berbunyi. Namun rintik-rintik hujan sudah membasahi sekolah. Sial, aku lupa
membawa payung, padahal orang tuaku sudah mengingatkanku tadi pagi. Terpaksa
aku menunggu sampai hujan reda. Satu per satu siswa mulai meninggalkan sekolah.
Beberapa siswa yang tidak membawa payung nekat berlari menembus hujan. Langit
semakin gelap, kini hanya tersisa aku dan seorang siswi berjilbab. Belum pernah
ku melihatnya. Untuk memecah keheningan, kuhampiri dia.
“Assalamualaikum”,
sapaku dengan senyuman.
“Waalaikumsalam”,
jawabnya.
“Nama
kamu siapa?”, tanyaku.
“Aisyah,
kalau kamu?” , katanya.
“Aku
Faried, kamu kelas berapa ya? Kok aku nggak pernah liat kamu?”, tanyaku.
“Aku
kelas sebelas IPA dua”, jawabnya.
“Oh,
pantesan, aku sudah kelas dua belas”, kataku.
“Gimana
kak hasil Try Outnya?”, tanyanya.
“Alhamdulillah
cukup memuaskan”, jawabku. Percakapan
kami berlanjut hingga tak terasa hujan telah reda. Kamipun berpisah dan segera
pulang.
Angin
berhembus sepoi sepoi melawati tubuhku. Beberapa rumah sudah mulai menyalakan
lampunya. Bau air dan tanah yang bercampur merasuk ke hidungku. Inilah suasana
yang paling aku suka. Teringat aku kepada siswi berjilbab yang ku temui di
gerbang sekolah tadi. Aisyah, nama yang indah, seindah wajahnya. Jilbab putih,
membalut wajahnya yang putih. Tanpa ku sadari benih benih cinta mulai tumbuh di
hatiku. Perjalanan pulangku ini terasa sangat menyenangkan.
Tak
terasa 3 bulan sudah berlalu sejak pertemuanku dengan Aisyah di gerbang sekolah
itu. Rasa cintaku kepadanya semakin besar. Siang itu, aku berlari menuju
gerbang sekolah. Berharap Aisyah belum melewati gerbang ini. Setelah sekian
menit, terlihat siswi dengan jilbab putih yang tertiup angin. Ya, itu Aisyah,
segera ku hampiri dia. Ku ajak dia menuju ke padang rumput yang luas di dekat
sekolah.
“Dek, aku cinta kamu”, agak
bergetar suaraku. Jantungku berdegup kencang. Kuberikan dia setangkai mawar
merah. Aisyah terdiam sejenak.
“Aku juga cinta kakak”, jawabnya
lirih.
Sejuta perasaan membuatku
melayang. Kebahagiaan memenuhi lubuk hatiku. Rasa kecewa yang dulu kurasakan,
sirnalah sudah. Luka yang ditorehkan Nisa sembuh oleh senyuman gadis berjilbab
yang saat ini ada di hadapanku. Sosok gadis yang kuimpikan telah mengisi
hatiku. Sempurnalah cintaku.