Copyright © P@KD3? it's me
Design by Dzignine
Jumat, 19 Oktober 2012

#39 Hujan, Rerumputan, dan Cintaku (cerpenku)



Hari itu kulihat Nisa duduk di pinggir halaman sekolah. Di siang yang tidak terlalu terik itu kulihat betapa cantiknya dia. Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, mata kami bertemu, ia pun tersenyum kepadaku. Sejak hari itu senyumannya selalu melekat di kepalaku. Hari demi hari kulalui dengan riang gembira karena panah cinta telah menancap di hatiku. Kelasku dan Nisa memang berbeda, namun selalu kuusahakan untuk melihatnya, aku pun sampai hafal kemana saja ia pergi saat istirahat.

Sekolahku berada di desa, dikelilingi padang rumput yang luas. Setiap hari aku pulang dengan jalan kaki, sendirian tanpa seseorang di sisiku. Suatu ketika, kulihat seorang wanita berpakaian putih abu-abu dengan jilbab di kepalanya. Tak salah lagi, itu Nisa. Segera ku hampiri dia di jalan menuju rumahku itu.

                “ Assalamualaikum, Nis ”, sapaku.
                “ Waalaikumsalam. Eh Faried, kamu mau pulang? ”, tanya Nisa.
                “ Iya, pertigaan itu aku belok kiri, kalau kamu? ”, tanyaku.
                “ Kalau aku belok kanan. Aku duluan ya, Wassalamualaikum. ”, kata Nisa.
                “ Waalaikumsalam ”, jawabku sambil tersenyum.

                Hari-hari kujalani dengan hati yang berbunga-bunga. Setiap hari aku pulang bersamanya. Suatu hari air hujan membasahi kami saat pulang. Langit memang sudah gelap sebelum kami pulang. Baru beberapa langkah kami keluar dari sekolah, setetes air hujan mengenai tanganku. Hujan pun mulai membasahi tubuh kami. 

                “Wah, Hujan! ayo cari tempat berteduh!”, seruku.
                “Iya, itu ada gubuk tua, ayo kita ke sana!”, jawab Nisa.

Di antara hujan yang deras, kami berlari ke sebuah gubuk tua yang terbuat dari bambu dan berada di bawah pohon itu. Dengan baju yang sudah basah kuyup, kami berteduh di gubuk tua itu. Kulihat ia kedinginan, ia mencoba menghangatkan tubuhnya dengan meniupkan nafasnya ke tangannya. Segera ku ambil jaket yang ada di tasku dan memakaikannya ke badannya. 

“Pakailah”, kataku.
“Oh, terima kasih”, jawabnya tersipu. Kami saling tersenyum.

                Sudah beberapa hari ini Nisa tidak pulang bersamaku. Aku selalu menunggunya di gerbang sekolah, namun ia tak pernah kulihat keluar dari gerbang itu beberapa hari ini. Terpaksa aku pulang dengan kakiku ini. Sore itu sengaja ku ambil rute jalan yang berbeda untuk pulang. Melewat sawah, padang rumput yang luas, dan sungai. Terhenti langkahku di sebuah padang rumput yang luas. Kulihat sebuah gubuk tua tempat aku dan Nisa berteduh saat hujan dulu. Bibirku sedikit tersenyum mengingat kejadian di gubuk itu. Ingin diriku duduk sebentar di gubuk itu. Baru beberapa langkah aku mendekat, langkahku terhenti lagi. Ku lihat seorang wanita berjilbab dan seorang pria yang sudah tidak asing bagiku. Ya Allah! Itu Nisa, dan lelaki yang duduk di sampingnya adalah Dika, sahabatku sendiri. Diriku lemas dan langsung terjatuh di rerumputan. Terjatuh dengan sejuta rasa sakit menghujam hatiku. Terjatuh di padang rumput yang luas.

                Dika, dia sahabat yang sering membuatku tertawa dengan tingkah konyolnya. Kami sering ke kantin bersama, mengerjakan tugas bersama, bahkan dihukum bersama. Tak ku sangka, ia pun mencintai Nisa. Memang saat di kantin kami sering membicarakan tentang Nisa. Sering kali ketika Nisa lewat di hadapan kami, Dika menggodaku dengan memanggil Nisa menggunakan namaku.

                Hari-hari kulalui dengan kepala tertunduk. Terasa sesuatu mengganjal di dadaku. Akhir-akhir ini aku sering melamun. Ku ambil buku pelajaran untuk mengalihkan pikiranku dari rasa sakit hatiku ini. Percuma, aku hanya bisa termenung di meja belajar. Tak satupun kalimat yang ada di buku masuk ke kepalaku. Setetes air mata jatuh, jatuh mengenai buku yang ada di hadapanku. Nggak, aku nggak boleh menangis. Ku usap air mataku dan segera mengambil air wudhu. Ku buka lembaran ayat suci dan mulai membacanya. Sebuah ayat membuatku tergugah. 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasib atau keadaan yang ada pada dirinya.”, QS. Ar-Rad ayat 11

Dalam hati kutanamkan, aku harus bangkit, aku nggak boleh seperti ini terus. Sejak saat itu, aku mulai melupakan kepedihan yang aku rasakan karena Nisa. Tapi, ada masih ada sesuatu yang kurang di hatiku.

                Sore itu, tanganku masih sibuk menulis di kertas ulangan. “Kriiiingg!!” Bel sekolah berbunyi. Namun rintik-rintik hujan sudah membasahi sekolah. Sial, aku lupa membawa payung, padahal orang tuaku sudah mengingatkanku tadi pagi. Terpaksa aku menunggu sampai hujan reda. Satu per satu siswa mulai meninggalkan sekolah. Beberapa siswa yang tidak membawa payung nekat berlari menembus hujan. Langit semakin gelap, kini hanya tersisa aku dan seorang siswi berjilbab. Belum pernah ku melihatnya. Untuk memecah keheningan, kuhampiri dia.

                “Assalamualaikum”, sapaku dengan senyuman.
                “Waalaikumsalam”, jawabnya.
                “Nama kamu siapa?”, tanyaku.
                “Aisyah, kalau kamu?” , katanya.
                “Aku Faried, kamu kelas berapa ya? Kok aku nggak pernah liat kamu?”, tanyaku.
                “Aku kelas sebelas IPA dua”, jawabnya.
                “Oh, pantesan, aku sudah kelas dua belas”, kataku.
                “Gimana kak hasil Try Outnya?”, tanyanya.
                “Alhamdulillah cukup memuaskan”, jawabku. Percakapan kami berlanjut hingga tak terasa hujan telah reda. Kamipun berpisah dan segera pulang.

                Angin berhembus sepoi sepoi melawati tubuhku. Beberapa rumah sudah mulai menyalakan lampunya. Bau air dan tanah yang bercampur merasuk ke hidungku. Inilah suasana yang paling aku suka. Teringat aku kepada siswi berjilbab yang ku temui di gerbang sekolah tadi. Aisyah, nama yang indah, seindah wajahnya. Jilbab putih, membalut wajahnya yang putih. Tanpa ku sadari benih benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Perjalanan pulangku ini terasa sangat menyenangkan.

                Tak terasa 3 bulan sudah berlalu sejak pertemuanku dengan Aisyah di gerbang sekolah itu. Rasa cintaku kepadanya semakin besar. Siang itu, aku berlari menuju gerbang sekolah. Berharap Aisyah belum melewati gerbang ini. Setelah sekian menit, terlihat siswi dengan jilbab putih yang tertiup angin. Ya, itu Aisyah, segera ku hampiri dia. Ku ajak dia menuju ke padang rumput yang luas di dekat sekolah. 

“Dek, aku cinta kamu”, agak bergetar suaraku. Jantungku berdegup kencang. Kuberikan dia setangkai mawar merah. Aisyah terdiam sejenak.

“Aku juga cinta kakak”, jawabnya lirih.

Sejuta perasaan membuatku melayang. Kebahagiaan memenuhi lubuk hatiku. Rasa kecewa yang dulu kurasakan, sirnalah sudah. Luka yang ditorehkan Nisa sembuh oleh senyuman gadis berjilbab yang saat ini ada di hadapanku. Sosok gadis yang kuimpikan telah mengisi hatiku. Sempurnalah cintaku.

0 komentar:

Posting Komentar